A.
Pengertian Mazhab Shahaby
Setelah Rasul wafat, yang memberikan fatwa kepada orang banyak pada
waktu itu ialah Jemaah Sahabat. Mereka itu mengetahui fikih ilmu pengetahuan
dan apa-apa yang biasa disampaikan oleh Rasul. Memahami Al-qur’an dan
hukum-hukumnya, inilah yang menjadi sumber dari fatwa-fatwa dalam
bermacam-macam masalah yang terjadi.
Beberapa orang perawi dari Tabi’in merawikan dan membukukan hadis,
sehingga ada diantaranya yang menulis riwayat, disamping sunah Rasulullah SAW.
Apakah fatwa itu menjadi sumber tasyrik yang dilengkapi dengan nash. Sebab
mujtahid itu kembali kepada sunahsebelum mempergunakan kias. Atau, semata-mata
hanya hasil pemikiranpribadi yang berkenaan dengan ijtihad. Bukan hujjah
terhadap kaum muslimin.
Menurut Jumhur Ulama Ushul, sahabat adalah mereka yang bertemu dengan Nabi saw dan
beriman kepadanya serta senantiasa bersama Nabi selama masa yang lama. Seperti
Khulafaurrasyidin, Ummahatul mu’minin, Ibnu Mas'ud, Ibn Abbas, lbn Umar, Ibn Al
'Ash dan Zaid bin Jabal. Tetapi menurut kebanyakan Ulama Hadis, sahabat adalah mereka yangbertemu dengan Nabi saw dan lman dengan dia sampai mati. Jaditidak mesti bersama beliau untuk
waktu yang lama.[1]
Mazhab sahabi atau disebut juga qaul
sahabi, atau qaul sahabat atau fatwa sahabat menurut definisi yang diberikan oleh
ahli ushul adalah:
ﻓﺘﻮﻯﺍﻠﺼﺤﺎﺒﺔﺒﺈﻨﻔﺮﺍﺩﻩ
“ fatwa seorang
sahabat nabi secara perorangan “.[2]
Para ulama sepakat bahwa perkataan sahabat yang bukan berdasarkan pikiran
mereka semata adalah hujjah (dasar hukum) bagi kaum muslimin, karena apa yang
dikatakan oleh para sahabat itu tentu saja berasal dari apa yang telah didengar
dari rasul. Misalnya perkataan
Aisyah r.a. yang diriwayatkan oleh Dar Quthni :
ﻻﻋﻜﻦﺍﻠﺤﻤﻞﻔﻰﺒﻄﻦﺍﻤﻪﺍﻜﺜﺮﻤﻦﺴﻨﺘﻴﻦﻘﺪﺮﻤﺎﻴﺘﺤﻮﻞﻈﻞﺍﻠﻌﺰﻞ
“Kandungan itu
tidak akan lebih dua tahun dalam perut ibunya, sepanjang bayang-bayang benda
ditancapkan.”
Keterangan Aisyah bahwa maksimal
waktu mengandung itu adalah dua tahun bukanlah semata-mata pendapatnya atas
dasar ijtihad pribadi. Bila hal ini benar adanya dan dapat diterima menurut
kenyataan niscaya keterangan tersebut bersumber dari apa yang telah didengar
dari Rasulullah, walaupun menurut lahirnya adalah ucapan Aisyah sendiri.
Begitu juga perkataan seorang sahabat yang tidak mendapat tentangan dari
sahabat lain, adalah hujjah bagi umat islam. Karena persesuaian mereka dalam
suatu masalah, dimasa mereka hidup masih dekat dengan masa nabi, serta
pengetahuan mereka yang mendalam tentang rahasia-rahasia syariat, menjadi bukti
bahwa pendapat yang tidak mendapat bantahan itu berdasarkan kepada dalil yang kuat
dari Rasulullah SAW.
Keputusan Abu Bakar
untuk memberikan seperenam harta warisan kepada beberapa orang nenek, misalnya,
tidak dibantah oleh sahabat-sahabat lainnya. Bahkan, dalam masalah yang sama,
Umar pun memutuskan demikian.
Oleh karenanya, hukum
yang ditetapkan oleh Abu Bakar tersebut merupakan hukum yang wajib diikuti
karena merupakan ketentuan yang tidak diperselisihkan oleh para sahabat dan
kaum Muslimin.Adapun yang diperselisihkan para ulama sebagai sumber hukum islam
adalah perkataan sahabat yang semata-mata berdasar hasil ijtihad
sendiri-sendiri dan mereka tidak dapat satu perkataan.[3]
B.
Pendapat Ulama Tentang Mazhab
Shahaby
Dari uraian diatas, tidak diragukan lagi bahwa pendapat para sahabat
dianggap sebagai hujjah bagi umat islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa
dijangkau akal. Karena pendapat mereka bersumber langsung dari Rasulullah saw.
Keterangan diatas tidaklah sah untuk dijadikan lapangan ijtihad dan
pendapat. Namun karena sumbernya benar-benarnya dari Rasulullah saw maka
dianggap sebagai sunah meskipun pada zahirnya merupakan ucapan sahabat.
Pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan sahabat lain bisa dijadikan
hujaholeh umat islam. Hal ini karena kesepakatan mereka terhadap hukum sangat
berdekatan dengan zaman Rasullulah saw.
Mereka juga mengetahui tentang rahasia-rahasia syariat dan
kejadian-kejadian lain yang bersumber dari dalil-dalil yang qath’i. Seperti
kesepakatan mereka atas pembagian waris untuk nenek yang mendapat bagian
seperenam. Ketentuan tersebut wajib diikuti karena tidak diketahui adanya
perselisihan dari umat islam.
Abu hanifah menyetujui pernyataan tersebut dan berkata, ”apabila saya
tidak mendapatkan hukum dalam al’quran dan sunnah, saya mengambil pendapat para
sahabat yang saya kehendaki dan saya meninggalkan pendapat orang yang tidak
saya kehendaki. Namun, saya tidak keluar dari pendapat mereka yang sesuai
dengan lainnya “.
Dengan demikian, Abu Hanifah tidak memandang bahwa pendapat seseorang sahabat itu sebagai
hujjah karena dia bisa mengambil pendapat mereka yang dia kehendaki. Namun dia
tidak memperkenankan untuk menentang pendapat-pendapat mereka secara
keseluruhan. Dia memperkenankan adanya qiyas terhadap suatu peristiwa, bahkan
dia mengambil cara nasakh ( menghapus atau menghilangkan ) terhadap berbagai
pendapat yang terjadi diantara mereka.
Menurut Abu Hanifah, perselisihan antara 2 orang sahabat mengenai hukum
suatu kejadian sehingga terdapat dua pendapat, bisa dikatakan ijma’ diantara
keduanya. Maka kalau keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan berarti
telah keluar dari ijma’ mereka.
Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa pendapat orang tertentu
dikalangan sahabat tidak dipandang sebagai hujjah. Bahkan beliau memperkenankan
untuk menentang pendapat mereka secara keseluruhan dan melakukan ijtihad untuk
mengistinbat pendapat lain dengan alasan bahwa pendapat mereka adalah pendapat
ijtihadi secara perseorangan dari orang yang tidak ma’sum (tidak terjaga dari
dosa).
Selain itu para sahabat juga dibolehkan menentang sahabat lainnya dengan
demikian para mujtahid juga dibolehkan menentang pendapat mereka. Maka tidaklah
aneh jika Imam Syafi’i melarang untuk menetapkan hukum atau memberi fatwa,
kecuali dari kitab dan sunnahatau dari pendapat yangdisepakati oleh para ulama
dan tidak terdapat perselisihan diantara mereka, atau menggunakan qiyas pada
sebagiannya.[4]
Perbedaan pendapat ulama terhadap fatwa sahabat, sebagian Ulama berpendapat dijadikan hujjah,
bila hukumnya takterdapat dalam Kitab, Sunnah dan ijma'. Argumentasi mereka adalah :
1. Firman Allah (surah At-Taubah ayat 100):
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ
الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِوَالَّذِينَ
اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
وَرَضُوا عَنْهُ
“(Kaum Muhajirin dan Anshar yang tergolong Assabiquunal
awwaluun dan mereka yang
mengikutinya dengan ihsan, maka Allah meridhai mereka dan mereka pun ridha akan
Allah).”
Assabiqunitu adalah sahabat yang oleh Allah diridhai bersama pengikut mereka, maka berpegang kepada fatwa mereka merupakan mengikuti mereka dan sarana keridhaan Allah.
2. Sunnah Nabawiyah yang menunjukkan ketinggan martabat sahabatdan keabsahan mengikutinya. Di antaranyasabda Nabi saw :
ﺍَﻨَﺎﺍَﻤَﺎﻦٌﻻََِﺼْﺤَﺎﺒِﯽ٬ﻮَﺍَﺼْﺤَﺎﺒِِﯽﺍَﻤَﺎﻦٌﻻُِﻤﱠﺘِﯽ٠
“(Aku
adalah pelindung sahabat dan mereka pelindung umatku).”
ﺍَﺼْﺤَﺎﺒِﯽﮐَﺎﻟﻨُّﺟُﻮْﻢِﺒِﺎﻴِّﻬِﻢْﺍِﻘْﺘَدَﻴْﺘُﻢْﺍِﻫْﺘَدَﻴْﺘُﻢْ٠
“(Sahabatku bagaikan bintang gumintang. Apa
saja yang mereka tunjuki kepada kamu, maka itu adalah merupakan petunjuk bagi
kamu).”[5]
3.
Bahwa fatwa-fatwa yang mereka berikan tidak keluar darisunnah Nabi ditinjau dari berbagai aspek :
a. Fatwa yang didengar sahabat dari
nabi.
b. Fatwa yang didengar dari orang yang
mendengar dari Nabi.
c. Fatwa yang didasarkan atas
pemahamannya terhadap Al-Qur’an yang agak kabur dari ayat tersebut pemahamannya
bagi kita.
d. Fatwa yang disepakati oleh
tokoh-tokoh sahabat yang sampai kepada kita melalui salah seorang sahabat.
e. Fatwa yang didasarkan kepada
kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya
tentang keadaan Nabi dan maksud-maksudnya. Kelima hal ini adalah hujah yang
wajib diikuti.
f. Fatwa yang berdasarkan pemahaman
yang tidak datang dari Nabi dan salah pemahamannya, maka hal ini tidak jadi
hujah.[6]
Bentuk yang keenam ini tidak menjadi hujjah. Memang dimaklumi secara pasti bahwa kemungkinan terjadinya ihtimal pada kelima
aspek tersebut lebih merupakan dugaan yang kuat dibandingkan dengan ihtimal yang terjadi dari seorang tertentu. Oleh, karena itu kelimanya memberikan dugaan yang kuat bahwa kebenaran itu terdapat dalam fatwa mereka bukan pada yang menyalahinya. Dalam masalah fiqhyah kita hanya dituntut dengan keharusan dugaan yang kuat itu.
[2] Prof. Dr. Amir
Syarifudin, Garis-garis BesarUshul Fiqih, (Jakarta, Prenada Media Group : 2012), hal 75
[3] Prof. Dr. H.
Alaiddin Koto, M.A., Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada: 2011), hal 114-115
[4] Prof. Dr. Rachmat
Syafe’I, M.A., Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung, CV. Pustaka Setia : 2010, hal 142
Tidak ada komentar:
Posting Komentar