Rabu, 30 Desember 2015

Pengertian Dan Pendapat Ulama Tentang Mazhab Shahaby

A.      Pengertian Mazhab Shahaby
Setelah Rasul wafat, yang memberikan fatwa kepada orang banyak pada waktu itu ialah Jemaah Sahabat. Mereka itu mengetahui fikih ilmu pengetahuan dan apa-apa yang biasa disampaikan oleh Rasul. Memahami Al-qur’an dan hukum-hukumnya, inilah yang menjadi sumber dari fatwa-fatwa dalam bermacam-macam masalah yang terjadi.

Beberapa orang perawi dari Tabi’in merawikan dan membukukan hadis, sehingga ada diantaranya yang menulis riwayat, disamping sunah Rasulullah SAW. Apakah fatwa itu menjadi sumber tasyrik yang dilengkapi dengan nash. Sebab mujtahid itu kembali kepada sunahsebelum mempergunakan kias. Atau, semata-mata hanya hasil pemikiranpribadi yang berkenaan dengan ijtihad. Bukan hujjah terhadap kaum muslimin.

Menurut Jumhur Ulama Ushul, sahabat adalah mereka yang bertemu dengan Nabi saw dan beriman kepadanya serta senantiasa bersama Nabi selama masa yang lama. Seperti Khulafaurrasyidin, Ummahatul mu’minin, Ibnu Mas'ud, Ibn Abbas, lbn Umar, Ibn Al 'Ash dan Zaid bin Jabal. Tetapi menurut kebanyakan Ulama Hadis, sahabat adalah mereka yangbertemu dengan Nabi saw dan lman dengan dia sampai mati. Jaditidak mesti bersama beliau untuk waktu yang lama.[1]

Mazhab sahabi atau disebut juga qaul sahabi, atau qaul sahabat atau fatwa sahabat menurut definisi yang diberikan oleh ahli ushul adalah:
ﻓﺘﻮﻯﺍﻠﺼﺤﺎﺒﺔﺒﺈﻨﻔﺮﺍﺩﻩ
“ fatwa seorang sahabat nabi secara perorangan “.[2]
Para ulama sepakat bahwa perkataan sahabat yang bukan berdasarkan pikiran mereka semata adalah hujjah (dasar hukum) bagi kaum muslimin, karena apa yang dikatakan oleh para sahabat itu tentu saja berasal dari apa yang telah didengar dari rasul. Misalnya perkataan Aisyah r.a. yang diriwayatkan oleh Dar Quthni :
ﻻﻋﻜﻦﺍﻠﺤﻤﻞﻔﻰﺒﻄﻦﺍﻤﻪﺍﻜﺜﺮﻤﻦﺴﻨﺘﻴﻦﻘﺪﺮﻤﺎﻴﺘﺤﻮﻞﻈﻞﺍﻠﻌﺰﻞ
“Kandungan itu tidak akan lebih dua tahun dalam perut ibunya, sepanjang bayang-bayang benda ditancapkan.”
Keterangan Aisyah  bahwa maksimal waktu mengandung itu adalah dua tahun bukanlah semata-mata pendapatnya atas dasar ijtihad pribadi. Bila hal ini benar adanya dan dapat diterima menurut kenyataan niscaya keterangan tersebut bersumber dari apa yang telah didengar dari Rasulullah, walaupun menurut lahirnya adalah ucapan Aisyah sendiri.
Begitu juga perkataan seorang sahabat yang tidak mendapat tentangan dari sahabat lain, adalah hujjah bagi umat islam. Karena persesuaian mereka dalam suatu masalah, dimasa mereka hidup masih dekat dengan masa nabi, serta pengetahuan mereka yang mendalam tentang rahasia-rahasia syariat, menjadi bukti bahwa pendapat yang tidak mendapat bantahan itu berdasarkan kepada dalil yang kuat dari Rasulullah SAW.
Keputusan Abu Bakar untuk memberikan seperenam harta warisan kepada beberapa orang nenek, misalnya, tidak dibantah oleh sahabat-sahabat lainnya. Bahkan, dalam masalah yang sama, Umar pun memutuskan demikian.
Oleh karenanya, hukum yang ditetapkan oleh Abu Bakar tersebut merupakan hukum yang wajib diikuti karena merupakan ketentuan yang tidak diperselisihkan oleh para sahabat dan kaum Muslimin.Adapun yang diperselisihkan para ulama sebagai sumber hukum islam adalah perkataan sahabat yang semata-mata berdasar hasil ijtihad sendiri-sendiri dan mereka tidak dapat satu perkataan.[3]

B.       Pendapat Ulama Tentang Mazhab Shahaby
Dari uraian diatas, tidak diragukan lagi bahwa pendapat para sahabat dianggap sebagai hujjah bagi umat islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa dijangkau akal. Karena pendapat mereka bersumber langsung dari Rasulullah saw.

Keterangan diatas tidaklah sah untuk dijadikan lapangan ijtihad dan pendapat. Namun karena sumbernya benar-benarnya dari Rasulullah saw maka dianggap sebagai sunah meskipun pada zahirnya merupakan ucapan sahabat. Pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan sahabat lain bisa dijadikan hujaholeh umat islam. Hal ini karena kesepakatan mereka terhadap hukum sangat berdekatan dengan zaman Rasullulah saw.

Mereka juga mengetahui tentang rahasia-rahasia syariat dan kejadian-kejadian lain yang bersumber dari dalil-dalil yang qath’i. Seperti kesepakatan mereka atas pembagian waris untuk nenek yang mendapat bagian seperenam. Ketentuan tersebut wajib diikuti karena tidak diketahui adanya perselisihan dari umat islam.

Abu hanifah menyetujui pernyataan tersebut dan berkata, ”apabila saya tidak mendapatkan hukum dalam al’quran dan sunnah, saya mengambil pendapat para sahabat yang saya kehendaki dan saya meninggalkan pendapat orang yang tidak saya kehendaki. Namun, saya tidak keluar dari pendapat mereka yang sesuai dengan lainnya “.

Dengan demikian, Abu Hanifah tidak memandang  bahwa pendapat seseorang sahabat itu sebagai hujjah karena dia bisa mengambil pendapat mereka yang dia kehendaki. Namun dia tidak memperkenankan untuk menentang pendapat-pendapat mereka secara keseluruhan. Dia memperkenankan adanya qiyas terhadap suatu peristiwa, bahkan dia mengambil cara nasakh ( menghapus atau menghilangkan ) terhadap berbagai pendapat yang terjadi diantara mereka.

Menurut Abu Hanifah, perselisihan antara 2 orang sahabat mengenai hukum suatu kejadian sehingga terdapat dua pendapat, bisa dikatakan ijma’ diantara keduanya. Maka kalau keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan berarti telah keluar dari ijma’ mereka.

Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa pendapat orang tertentu dikalangan sahabat tidak dipandang sebagai hujjah. Bahkan beliau memperkenankan untuk menentang pendapat mereka secara keseluruhan dan melakukan ijtihad untuk mengistinbat pendapat lain dengan alasan bahwa pendapat mereka adalah pendapat ijtihadi secara perseorangan dari orang yang tidak ma’sum (tidak terjaga dari dosa).

Selain itu para sahabat juga dibolehkan menentang sahabat lainnya dengan demikian para mujtahid juga dibolehkan menentang pendapat mereka. Maka tidaklah aneh jika Imam Syafi’i melarang untuk menetapkan hukum atau memberi fatwa, kecuali dari kitab dan sunnahatau dari pendapat yangdisepakati oleh para ulama dan tidak terdapat perselisihan diantara mereka, atau menggunakan qiyas pada sebagiannya.[4]

Perbedaan pendapat ulama terhadap fatwa sahabat, sebagian Ulama berpendapat dijadikan hujjah, bila hukumnya takterdapat dalam Kitab, Sunnah dan ijma'. Argumentasi mereka adalah :
1.    Firman Allah (surah At-Taubah ayat 100):

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِوَالَّذِينَ
اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ

(Kaum Muhajirin dan Anshar yang tergolong Assabiquunal awwaluun dan mereka yang mengikutinya dengan ihsan, maka Allah meridhai mereka dan mereka pun ridha akan Allah).”

Assabiqunitu adalah sahabat yang oleh Allah diridhai bersama pengikut mereka, maka berpegang kepada fatwa mereka merupakan mengikuti mereka dan sarana keridhaan Allah.

2.    Sunnah Nabawiyah yang menunjukkan ketinggan martabat sahabatdan keabsahan mengikutinya. Di antaranyasabda Nabi saw :

ﺍَﻨَﺎﺍَﻤَﺎﻦٌﻻََِﺼْﺤَﺎﺒِﯽ٬ﻮَﺍَﺼْﺤَﺎﺒِِﯽﺍَﻤَﺎﻦٌﻻُِﻤﱠﺘِﯽ٠
“(Aku adalah pelindung sahabat dan mereka pelindung umatku).”

ﺍَﺼْﺤَﺎﺒِﯽﮐَﺎﻟﻨُّﺟُﻮْﻢِﺒِﺎﻴِّﻬِﻢْﺍِﻘْﺘَدَﻴْﺘُﻢْﺍِﻫْﺘَدَﻴْﺘُﻢْ٠
“(Sahabatku bagaikan bintang gumintang. Apa saja yang mereka tunjuki kepada kamu, maka itu adalah merupakan petunjuk bagi kamu).”[5]

3.      Bahwa fatwa-fatwa yang mereka berikan tidak keluar darisunnah Nabi ditinjau dari berbagai aspek :
a.    Fatwa yang didengar sahabat dari nabi.
b.    Fatwa yang didengar dari orang yang mendengar dari Nabi.
c.    Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Al-Qur’an yang agak kabur dari ayat tersebut pemahamannya bagi kita.
d.  Fatwa yang disepakati oleh tokoh-tokoh sahabat yang sampai kepada kita melalui salah seorang sahabat.
e. Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi dan maksud-maksudnya. Kelima hal ini adalah hujah yang wajib diikuti.
f.  Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan salah pemahamannya, maka hal ini tidak jadi hujah.[6]

Bentuk yang keenam ini tidak menjadi hujjah. Memang dimaklumi secara pasti bahwa kemungkinan terjadinya ihtimal pada kelima aspek tersebut lebih merupakan dugaan yang kuat dibandingkan dengan ihtimal yang terjadi dari seorang tertentu. Oleh, karena itu kelimanya memberikan dugaan yang kuat bahwa kebenaran itu terdapat dalam fatwa mereka bukan pada yang menyalahinya. Dalam masalah fiqhyah kita hanya dituntut dengan keharusan dugaan yang kuat itu.






1 Dr. H. Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta, Sinar Grafika : 2004), hal 64
[2] Prof. Dr. Amir Syarifudin, Garis-garis BesarUshul Fiqih, (Jakarta, Prenada Media Group : 2012), hal 75
[3] Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, M.A., Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada: 2011), hal 114-115
[4] Prof. Dr. Rachmat Syafe’I, M.A., Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung, CV. Pustaka Setia :  2010, hal 142
[5]Dr. H. Sulaiman Abdullah, op.cit., hal 66-67
[6]Prof. H. A. Djazuli, Ilmu fiqih, (Jakarta, Prenada Media Group : 2010), hal 98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar