A.
Pengertian As-Salam
Secara bahasa,
salam (سلم)
adalah al-i'tha' (الإعطاء) dan at-taslif (التسليف).
Keduanya bermakna pemberian. Ungkapan aslama ats tsauba
lil al-khayyath bermakna: dia telah menyerahkan baju kepada penjahit.
Sedangkan secara istilah syariah, akad salam
didefinisikan oleh para fuqaha secara umumnya: (بيع موصوف في الذمة ببدل يعطى عاجلا).
Jual-beli barang yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan
dengan imbalan pembayaran) yang dilakukan saat itu juga. Penduduk Hijaz
mengungkapkan akad pemesanan barang dengan istilah salam, sedangkan penduduk
Irak menyebutnya Salaf. Jual beli salam adalah suatu benda yang disebutkan
sifatnya dalam tanggungan atau memberi uang didepan secara tunai, barangnya
diserahkan kemudian/ untuk waktu yang ditentukan. Menurut ulama syafi’iyyah
akad salam boleh ditangguhkan hingga waktu tertentu dan juga boleh diserahkan
secara tunai.
Secara lebih
rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan pembayaran dimuka dan
penyerahan barang di kemudian hari (advanced payment atauforward
buying atau future sale) dengan harga, spesifikasi,
jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati
sebelumnya dalam perjanjian. Fuqaha menamakan jual beli ini dengan “penjualan
Butuh” (Bai’ Al-Muhawij). Sebab ini adalah penjualan yang
barangnya tidak ada, dan didorong oleh adanya kebutuhan mendesak
pada masing-masing penjual dan pembeli. Pemilik modal membutuhkan
untuk membeli barang, sedangkan pemilik barang butuh kepada uang dari harga
barang. Berdasarkan ketentuan-ketentuannya, penjual bisa mendapatkan pembiayaan
terhadap penjualan produk sebelum produk tersebut benar-benar tersedia.
B.
Dasar Hukum As-Salam
Landasan syariah transaksi bai’ as-Salam terdapat
dalam al-Qur’an dan al-Hadist.
1.
Al-Quran
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalahtidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya” (QS. Al-Baqarah : 282). Dan utang secara umum meliputi utang-piutang dalam
jual beli salam,dan utang-piutang dalam jual beli lainnya. Ibnu Abbas telah
menafsirkan tentang utang-piutang dalam jual beli salam.
Dalam kaitan ayat di atas Ibnu Abbas menjelaskan
keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi bai’ as-Salam, hal
ini tampak jelas dari ungkapan beliau: “Saya bersaksi bahwa salam (salaf)
yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada
kitab-Nya dan diizinkan-Nya.” Ia lalu membaca ayat tersebut.
2.
Al-Hadist
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اَلْمَدِينَةَ,
وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: ( مَنْ
أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ,
إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِلْبُخَارِيِّ: مَنْ
أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ
Ibnu Abbas
berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan penduduknya
biasa meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua tahun. Lalu beliau
bersabda: "Barangsiapa meminjamkan buah maka hendaknya ia meminjamkannya
dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu." Muttafaq Alaihi. Menurut
riwayat Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan sesuatu."
وَعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ
أَبْزَى، وَعَبْدِ اَللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-
قَالَا:( كُنَّا نُصِيبُ اَلْمَغَانِمَ مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
وَكَانَ يَأْتِينَا أَنْبَاطٌ مِنْ أَنْبَاطِ اَلشَّامِ, فَنُسْلِفُهُمْ فِي
اَلْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالزَّبِيبِ - وَفِي رِوَايَةٍ: وَالزَّيْتِ -
إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى. قِيلَ: أَكَانَ لَهُمْ زَرْعٌ? قَالَا: مَا كُنَّا
نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِك) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Abdurrahman Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu Aufa Radliyallaahu 'anhu berkata:
Kami menerima harta rampasan bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
Dan datanglah beberapa petani dari Syam, lalu kami beri pinjaman kepada mereka
berupa gandum, sya'ir, dan anggur kering -dalam suatu riwayat- dan minyak untuk
suatu masa tertentu. Ada orang bertanya: Apakah mereka mempunyai tanaman?
Kedua perawi menjawab: Kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka. (HR.
Bukhari).
Abdullah bin Abu Mujalid r.a. berkata, Abdullah bin Syadad bin Haad pernah
berbeda pendapat dengan Abu Burdah tentang salaf. Lalu mereka utus saya kepada
Ibnu Abi Aufa.Lantas saya tanyakan kepadabya perihal iti.Jawabnya.‘Sesungguhnya
pada masa Rasulullah Saw., pada masa Abu Bakar, pada masa Umar, kami pernah
mensalafkan gandum, sya’ir, buah anggur, dan kurma. Dan saya pernah pula
bertanya kepada Ibnu Abza, jawabnya pun seperti itu juga.(Bukhari).
3. Ijma’
Mengutip dari
perkataan Ibnu Mundzir yang mengatakan bahwa, semua ahli ilmu (ulama) telah
sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan, karena terdapat kebutuhan dan
keperluan untuk memudahkan urusan manusia. Dari berbagai landasan di atas,
jelaslah bahwa akad salamdiperbolehkan sebagai kegiatan bemuamalah
sesama manusia.
C. Rukun Dan Syarat
1. Mu’qidain:
Muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang. Muslam
ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok barang pesanan.
-
Cakap bertindak
hukum ( baligh dan berakal sehat).
-
Muhtar ( tidak dibawah tekanan/paksaan).
2. Modal atau
uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman).
-
Jelas dan terukur
-
Disetujui kedua pihak
-
Diserahkan tunai/cash ketika akad berlangsung
3. Muslan
fiih adalah barang yang dijual belikan (obyek transaksi)
-
Dinyatakan jelas jenisnya
-
Jelas sifat-sifatnya
-
Jelas ukurannya
-
Jelas batas waktunya
-
Tempat penyerahan dinyatakan secara jelas
4. Shigat adalah ijab dan
qabul.
- harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak
terpisah oleh hal-hal yang dapat memalingkan keduanya dari maksud akad.
Para imam
mazhab telah bersepakat bahwasanya jual beli salam adalah benar dengan enam
syarat yaitu jenis barangnya diketahui, sifat barangnya diketahui, banyaknya
barang diketahui, waktunya diketahui oleh kedua belah pihak, mengetahui kadar
uangnya, jelas tempat penyerahannya.
Namun Imam
Syafi’i menambahkan bahwa akad salam yang sah harus memenui syarat
in’iqad, syarat sah, dan syarat muslam fiih.
1.
Syarat-syarat In’iqad
a. Pertama, menyatakan
shigat ijab dan qabul, dengan sighat yang telah disebutkan.
b. Kedua, pihak yang
mengadakan akad cakap dalam membelanjakan harta. Artinya dia telah baligh dan
berakal karena jual beli salam merupakan transaksi harta benda, yang
hanya sah dilakukan oleh orang yang cakap membelanjakan harta, sepertihalnya
akad jual beli.
2.
Syarat Sah Salam
a. Pertama, pembayaran dilakukan di majelis akad sebelum akad
disepakati, mengingat kesepakatan dua pihak sama dengan perpisahan. Alasannya,
andaikan pembayaran salam ditangguhkan,terjadilah transaksi yang mirip dengan
jual beli utang dan piutang, jikaharga berada dalam tanggungan. Disamping itu
akad salam mengandung gharar.
b.
Kedua, pihak pemesan secara khusus berhak menentukan tempat
penyerahan barang pesanan, jika dia membayar ongkos kirim barang. Jika tidak
maka pemesan tidak berhak menentukan tempat penyerahan. Apabila penerima
pesanan harus menyerahkan barang itu di suatu tempat yang tidak layak dijadikan
sebagai tempat penyerahan. misalnya gurun sahara,, atau layak
dijadikan tempat penyerahan barang tetapi perlu biaya pengangkutan, akad salam
hukumnya tidak sah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar