Rabu, 30 Desember 2015

Penjelasan As-Salam

A.     Pengertian As-Salam

Secara bahasa, salam (­­سلم) adalah  al-i'tha' (الإعطاء) dan at-taslif  (التسليف). Keduanya  bermakna pemberian. Ungkapan aslama ats tsauba lil al-khayyath bermakna: dia telah menyerahkan baju kepada penjahit.
Sedangkan  secara  istilah  syariah,  akad  salam didefinisikan oleh para fuqaha secara umumnya: (بيع موصوف في الذمة ببدل يعطى عاجلا). Jual-beli  barang yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan dengan imbalan pembayaran) yang dilakukan saat itu juga. Penduduk Hijaz mengungkapkan akad pemesanan barang dengan istilah salam, sedangkan penduduk Irak menyebutnya Salaf. Jual beli salam adalah suatu benda yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan atau memberi uang didepan secara tunai, barangnya diserahkan kemudian/ untuk waktu yang ditentukan. Menurut ulama syafi’iyyah akad salam boleh ditangguhkan hingga waktu tertentu dan juga boleh diserahkan secara tunai.
Secara lebih rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan pembayaran dimuka dan penyerahan barang di kemudian hari (advanced payment atauforward buying atau future sale) dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian. Fuqaha menamakan jual beli ini dengan “penjualan Butuh” (Bai’ Al-Muhawij). Sebab ini adalah penjualan yang barangnya tidak ada, dan didorong oleh adanya kebutuhan mendesak pada  masing-masing penjual dan pembeli. Pemilik modal membutuhkan untuk membeli barang, sedangkan pemilik barang butuh kepada uang dari harga barang. Berdasarkan ketentuan-ketentuannya, penjual bisa mendapatkan pembiayaan terhadap penjualan produk sebelum produk tersebut benar-benar tersedia.


B.       Dasar Hukum As-Salam
Landasan syariah transaksi bai’ as-Salam terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadist.
1.      Al-Quran
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalahtidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (QS. Al-Baqarah : 282). Dan utang secara umum meliputi utang-piutang dalam jual beli salam,dan utang-piutang dalam jual beli lainnya. Ibnu Abbas telah menafsirkan tentang utang-piutang dalam jual beli salam.
Dalam kaitan ayat di atas Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi bai’ as-Salam, hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau: “Saya bersaksi bahwa salam (salaf) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya.” Ia lalu membaca ayat tersebut.

2.      Al-Hadist

عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اَلْمَدِينَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: ( مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ, إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِلْبُخَارِيِّ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ

Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua tahun. Lalu beliau bersabda: "Barangsiapa meminjamkan buah maka hendaknya ia meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan sesuatu."

وَعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، وَعَبْدِ اَللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَا:( كُنَّا نُصِيبُ اَلْمَغَانِمَ مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ يَأْتِينَا أَنْبَاطٌ مِنْ أَنْبَاطِ اَلشَّامِ, فَنُسْلِفُهُمْ فِي اَلْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالزَّبِيبِ - وَفِي رِوَايَةٍ: وَالزَّيْتِ - إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى. قِيلَ: أَكَانَ لَهُمْ زَرْعٌ? قَالَا: مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِك)  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ 

Abdurrahman Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu Aufa Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami menerima harta rampasan bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Dan datanglah beberapa petani dari Syam, lalu kami beri pinjaman kepada mereka berupa gandum, sya'ir, dan anggur kering -dalam suatu riwayat- dan minyak untuk suatu masa tertentu. Ada orang bertanya: Apakah mereka mempunyai tanaman? Kedua perawi menjawab: Kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka. (HR. Bukhari).

Abdullah bin Abu Mujalid r.a. berkata, Abdullah bin Syadad bin Haad pernah berbeda pendapat dengan Abu Burdah tentang salaf. Lalu mereka utus saya kepada Ibnu Abi Aufa.Lantas saya tanyakan kepadabya perihal iti.Jawabnya.‘Sesungguhnya pada masa Rasulullah Saw., pada masa Abu Bakar, pada masa Umar, kami pernah mensalafkan gandum, sya’ir, buah anggur, dan kurma. Dan saya pernah pula bertanya kepada Ibnu Abza, jawabnya pun seperti itu juga.(Bukhari).

3.      Ijma’
Mengutip dari perkataan Ibnu Mundzir yang mengatakan bahwa, semua ahli ilmu (ulama) telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan, karena terdapat kebutuhan dan keperluan untuk memudahkan urusan manusia. Dari berbagai landasan di atas, jelaslah bahwa akad salamdiperbolehkan sebagai kegiatan bemuamalah sesama manusia.

C.      Rukun Dan Syarat
1.  Mu’qidain: Muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang. Muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok barang pesanan.
-          ­Cakap bertindak hukum ( baligh dan berakal sehat).
-          Muhtar ( tidak dibawah tekanan/paksaan).

2.      Modal atau uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman).
-          ­Jelas dan terukur
-          Disetujui kedua pihak
-          Diserahkan tunai/cash ketika akad berlangsung

3.      Muslan fiih adalah barang yang dijual belikan (obyek transaksi)
-          Dinyatakan jelas jenisnya
-          Jelas sifat-sifatnya
-          Jelas ukurannya
-          Jelas batas waktunya
-          Tempat penyerahan dinyatakan secara jelas

4.      Shigat adalah ijab dan qabul.
-   harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal yang dapat memalingkan keduanya dari maksud akad.

Para imam mazhab telah bersepakat bahwasanya jual beli salam adalah benar dengan enam syarat yaitu jenis barangnya diketahui, sifat barangnya diketahui, banyaknya barang diketahui, waktunya diketahui oleh kedua belah pihak, mengetahui kadar uangnya, jelas tempat penyerahannya.
Namun Imam Syafi’i menambahkan bahwa akad salam yang sah harus memenui syarat in’iqad, syarat sah, dan syarat muslam fiih.
1.        Syarat-syarat In’iqad
a.    Pertama, menyatakan shigat ijab dan qabul, dengan sighat yang telah disebutkan.
b.  Kedua, pihak yang mengadakan akad cakap dalam membelanjakan harta. Artinya dia telah baligh dan berakal karena jual beli salam  merupakan transaksi harta benda, yang hanya sah dilakukan oleh orang yang cakap membelanjakan harta, sepertihalnya akad jual beli.

2.        Syarat Sah Salam
a.  Pertama, pembayaran dilakukan di majelis akad sebelum akad disepakati, mengingat kesepakatan dua pihak sama dengan perpisahan. Alasannya, andaikan pembayaran salam ditangguhkan,terjadilah transaksi yang mirip dengan jual beli utang dan piutang, jikaharga berada dalam tanggungan. Disamping itu akad salam mengandung gharar.
b.      Kedua, pihak pemesan secara khusus berhak menentukan tempat penyerahan barang pesanan, jika dia membayar ongkos kirim barang. Jika tidak maka pemesan tidak berhak menentukan tempat penyerahan. Apabila penerima pesanan harus menyerahkan barang itu di suatu tempat yang tidak layak dijadikan sebagai tempat penyerahan. misalnya gurun sahara,, atau  layak dijadikan tempat penyerahan barang tetapi perlu biaya pengangkutan, akad salam hukumnya tidak sah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar